Pajak Jeblok, Malak Lagi-Ngutang Lagi?
Sampai
September 2017 penerimaan pajak baru mencapai Rp770,7 triliun. Angka ini hanya
60% dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017 sebesar Rp1.284 triliun.
Artinya, aparat pajak harus bekerja ekstra keras mengumpulkan Rp513 triliun
dalam tempo 2,5 bulan sebelum 2017 berakhir.
Pajak
sejak beberapa tahun silam memang kadung menjadi penyumbang utama
APBN. Pada APBN 2017 sebelum direvisi menjadi APBN-P, misalnya, kontribusi
pajak dalam penerimaan negara mencapai Rp1.499 triliun alias 85,6% dari total
penerimaan.
Sayangnya,
selama beberapa tahun terakhir perolehan pajak selalu meleset dari target.
Sampai September tahun ini, jumlah yang berhasil dikumpulkan turun 2,79%
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang Rp791,9 triliun. Padahal,
target-target itu dalam APBN-P selalu sudah diturunkan. Contohnya, pada APBN
2017 sebelumnya pajak dipatok Rp1.498 triliun. Namun dalam APBN-P 2017
targetnya diturunkan Rp215 triliun menjadi Rp1.284 triliun.
Apa boleh
buat, kinerja perpajakan kita memang jeblok. Sejak 2013-2017 perolehannya
selalu tidak beringsut jauh dari 60% dari target (yang telah diturunkan). Pada
2013, cuma sekitar 63,18%. Bahkan pada 2015 dan 2016, masing-masing hanya 53%
dan 58,4%. Satu-satunya yang agak menggembirakan terjadi pada 2014, itu pun
hanya 64,16%.
Kemampuan
rendah
Bagaimana
kita memaknai angka-angka tersebut? Repot juga, memang. Tapi dari sini paling
tidak
kita bisa menyimpulkan, kemampuan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI)
dan jajarannya dalam menyusun APBN amat lemah. Kalau sekali-dua kali meleset
dari target, mungkin masih bisa diterima. Tapi jika selalu di bawah banderol,
bahkan ketika target telah diturunkan sekali pun, tentu persoalannya jadi lain.
Kapasitas dan kapabilitasnya rendah.
Barangkali
Sri bisa saja berkilah, bahwa melorotnya penerimaan pajak karena situasi
perkenomian nasional dan global yang tidak bersahabat. Jika ini yang menjadi
alasan, mengapa justru kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy) yang
dia lakukan?
Gunting
tajam anggaran Sri memotong berbagai alokasi dana, khususnya untuk pembangunan
dan subsidi sosial. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur terkatung-katung
kehabisan dana. Beban rakyat jadi kian berat karena BBM naik, listrik naik, gas
naik.
Baca juga artikel berikut ini
Inilah Tata Cara Serta Adab Ta’aruf Menurut Islam
Kebijakan
ini senafas dengan garis Bank Dunia di negeri-negeri yang sedang krisis di
Eropa Barat. Hasilnya justru memperburuk situasi ekonomi dalam negeri mereka.
Di mata kaum neolib, subsidi adalah pendistorsi ekonomi. Subsidi menjadi
barang haram yang amat tabu diterapkan. Karenanya subsidi harus ditekan
serendah mungkin, jika bisa mencapai titik nol.
Fakta
perolehan pajak yang kembali jauh dari target jelas berita buruk. Bukan tidak
mungkin kondisi akan menjadi lebih buruk lagi seiring dengan berbagai tindakan
yang segera Sri ambil. Menilik rekam jejaknya, bisa jadi dia akan kembali sibuk
menelisik soal-soal printal-printil dari rakyatnya untuk dihisap pajaknya.
Dalih
yang dikedepankan adalah intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Padahal, pasti
Sri tahu, bahwa nafsunya memalaki rakyatnya dengan berbagai printal-printil
tadi pasti tidak akan menghasilkan penerimaan yang signifikan. Pada saat yang
sama, kehebohan itu justru membuat beban rakyat makin berat saja. Secara
politis, ini bisa menganggu target-target Presiden, terutama dikaitkan dengan
Pilpres 2019.
Kejar
yang kakap
Sejatinya,
kalau mau, Sri bisa berkonsentrasi mengejar potensi pendapatan pajak dari
kelompok kakap. Dia, umpamanya, bisa menjadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) tentang pengemplangan pajak yang dilakukan PT Freeport Indonesia sebesar
Rp6 triliun.
Atau,
Menkeu bisa mengerahkan kesaktiannya untuk mengulik kembali kasus Honggo
Wendratno dan Raden Priyono. Mereka adalah dua orang tersangka kasus korupsi
pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan BP
Migas, Kementerian ESDM, dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI).
Kasusnya terjadi pada periode 2009 sampai 2010.
Honggo
adalah Pendiri PT TPPI yang diduga mengambil kondensat bagian negara dari BP
Migas tanpa kontrak yang sah. Sedangkan Raden Priyono adalah kepala BP Migas.
Dalam uditnya, BPK menyatakan total kerugian negara dalam kasus ini mencapai
US$2,715 juta lebih atau sekitar Rp34 trilliun. Jumlah ini jelas sangat
signifikan memberi tambahan dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Tapi,
bedasarkan rekam jejaknya, lagi-lagi publik ragu apakah Sri akan mau mengejar
para ‘rakyat besar’ itu. Selama ini dia dikenal sangat galak memalak pajak
terhadap rakyat kecil. Sebaliknya, kalau terhadap yang besar-besar, dia
cenderung mencari jalan aman. Bahkan, kepada Freeport yang berkali-kali
menabrak aturan dan perundang-undangan serta jelas-jelas menunjukkan arogansi
luar biasa, dia justru sibuk menyusun aturan yang bakal meringankan pajaknya.
Resep
lama
Yang
mungkin dia akan lakukan sehubungan lunglainya penerimaan perpajakan, Sri akan
kembali menerapkan resep lama. Memangkas anggaran dan membuat utang baru. Sejak
menjadi Menkeu pada Juli 2016, sampai Oktober 2016 (hanya dalam tempo tiga
bulan), dia sudah memotong anggaran di APBN 2016 sebesar Rp133,8 triliun. Dalam
penjelasannya kepada pers dia mengatakan, pemotongan anggaran dilakukan karena
kemungkinan penerimaan negara dari sisi pajak bakal kurang sekitar Rp219
triliun.
Kebijakan
Sri yang memangkas anggaran adalah bukti nyata bagaimana dia begitu setia
dengan kacamata kuda neolibnya. Padahal, pemotongan anggaran hanya bagus di
mata pasar (baca: World Bank, IMF, ADB, dan para konconya). Kenapa? Karena
dengan memotong anggaran nilai aset di dalam negeri bakal stagnan, bahkan bisa
turun. Nah saat itulah investor getol belanja aset di sini.
Pemotongan
anggaran juga memberikan ruang fiskal lebih luas bagi APBN. Kelonggaran ini
dimanfaatkan untuk membayar bunga dan pokok utang luar negeri. Tentu saja, para bond
holderbersorak-sorai karenanya. Apalagi Sri memang sangat dikenal sebagai
Menkeu yang rajin mengobral bunga supertinggi untuk tiap obligasi yang
diterbitkan negeri ini.
Kemungkinan
kedua yang bakal dia lakukan, adalah kembali membuat utang baru. Data Ditjen
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu menyebutkan, hingga akhir
Agustus 2017, jumlah utang kita mencapai Rp3.826 triliun. Jumlah ini sudah
sangat luar biasa besar.
Sebagai
pejuang neolib yang kelewat percaya diri (PD), Sri selalu saja merasa bisa menyodorkan
dalih untuk membuat utang baru. Salah satunya dengan mengatakan, utang tetap
sangat diperlukan agar defisit APBN tidak melebar. Di sisi lain, UU memberi
batas tolerasi defisit APBN maksimal sebesar 3% dari PDB. Jadi, supaya tidak
menabrak UU, ya defisit harus dikurangi. Caranya, buat utang baru lagi.
Dia juga
merasa nyaman-nyaman saja terus membuat utang baru. Alasannya, Indonesia punya
sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah yang bisa dijual untuk membayar
utang. Lagi pula, katanya lagi, bukankah jumlah utang masih di bawah 30% dari
PDB? Angka ini jauh di bawah batas aman seperti yang diatur dalam UU Nomor
17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60% dari PDB.
Padahal
rasio utang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan
negara dalam membayar utangnya. PDB hanyalah output atas seluruh unit
usaha yang ada dalam wilayah negara tertentu. Ia cuma perhitungan statistik
belaka, sama sekali tidak berbentuk cash. Di sinilah kuncinya.
Kalau mau fair,
utang harus diperbandingkan dengan kemampuan pemerintah melunasi
utang-utangnya. Artinya, lebih tepat bila membandingkan utang pemerintah plus
bunga dengan penerimaan negara, baik dari sisi pajak maupun nonpajak, yaitu
ekspor.
Data
Kemenkeu menyebutkan, setiap tahun rasio pembayaran cicilan utang pemerintah,
termasuk bunga, terhadap penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, cenderung
naik. Pada 2011 rasionya sekitar 19,03%. Namun angkanya melejit jadi 27,87%
pada 2016. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah plus termasuk
bunga terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25% pada 2011 jadi
32,31% di 2016.
Sudah
gawat
Berdasarkan
data-data rasio tadi, sedikitnya ada dua yang gawat. Pertama, beban
pembayaran utang pemerintah terus naik. Kedua, kemampuan pemerintah
dalam menghasilkan penerimaan negara, baik pajak maupun nopajak, untuk membayar
kembali utang justru kian melemah. Maknanya, kemampuan fiskal untuk mengurangi
beban utang sesungguhnya rendah. Sayangnya, pemerintah jarang sekali
mengumumkan rasio utang terhadap penerimaaan negara, tapi justru cenderung
menutupinya.
Sebagai
Menkeu yang doktor ekonomi, mustahil Sri tidak tahu dan tidak paham perkara
dasar ini. Tapi, mazhab neolib yang digenggamnya melarang dia lari dari school
of thinking-nya. Itulah sebabnya, tiap kebijakan yang dilahirkannya selalu saja
berkiblat pada kepentingan dan garis neolib.
Tolong
tunjukkan, selama dua kali menjadi Menkeu (di era SBY dan Jokowi sekarang),
adakah kebijakannya yang menggenjot pertumbuhan, mendorong investasi,
mendongkrak ekspor, membuka lapangan kerja, meningkatkan daya beli/konsumsi
publik, dan akhirnya meningkatkan kesejahtraan rakyat? Ada?
Pada
konteks jebloknya penerimaan pajak, sepertinya dengan gampang kita bisa tebak
apa yang bakal dilakukannya. Pertama, makin galak memalak pajak rakyat. Kedua,
membuat utang baru lagi dan lagi.
Dikutip
dari panjimas.com
0 Response to "Pajak Jeblok, Malak Lagi-Ngutang Lagi?"
Post a Comment