HTI dibubarkan, pemerintah mulai bertindak diktator
Oleh Yusril Ihza Mahendra
Pagi
ini Kemenhumkan dengan resmi telah mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) disertai dengan pembubaran ormas yang berstatus badan hukum
perkumpulan atau vereneging itu. Kewenangan Pemerintah, dalam hal ini
Menkumham, mencabut status badan hukum dan sekaligus membubarkan ormas tanpa
proses peradilan, adalah kewenangan yang diberikan oleh Perpu No. 2 Tahun 2017
yang kontroversial itu.
Saya sejak
awal mengatakan bahwa Perpu ini membuka peluang bagi Pemerintah menjadi
diktator. Pemerintah secara sepihak berwenang membubarkan ormas tanpa hak
membela diri dan tanpa “due process of law” atau proses penegakan hukum dan
adil dan benar sesuai asas negara hukum yang kita anut.
Pemerintah
sebagaimana berulangkali ditegaskan oleh Menko Polhukam Wiranto, telah dengan
sesat pikir menerapkan asas “contrarius actus” dalam hukum Romawi ke hukum
nasional kita. Dengan asas itu, menurut Menko Polhukam, Pemerintah yang
berwenang “menerbitkan izin” berdirinya ormas, maka dengan sendirinya berwenang
pula mencabut “izin” tersebut. Padahal mendirikan ormas bukanlah sesuatu yang
perlu izin Pemerintah.
SK
Menhumkan tentang pengesahan berdirinya sebuah badan hukum, samasekali bukan
surat izin seperti Surat Izin Mengemudi yang dikeluarkan Polisi. Izin,
dikeluarkan agar seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang. Mengemudi di
jalan raya itu prinsipnya dilarang karena bisa membahayakan orang lain. Namun,
seseorang boleh melanggar larangan itu, kalau dia punya Surat Izin yang disebut
SIM itu.
Kebebasan
berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang seperti mengemudi di
jalan raya, melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 45.
Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum ormas yang didirikan,
bukanlah surat izin sebagaimana dengan sesatnya dipahami oleh Menko Polhukam.
Tadi malam
dalam dialog ILC di TVOne, salah satu pendukung Pepu No. 2 Tahun 2017 ini, Prof
Dr T Mulya Lubis membantah pendapat saya bahwa Pemerintah ini bisa bertindak
laksana diktator dalam membubarkan ormas. Dalam dunia yang makin terbuka ini,
tidak mungkin Pemerintah bisa jadi diktator, kata Mulya Lubis.
Saya hanya
mengatakan kepada T Mulya Lubis “anda lihat saja besok, HTI dibubarkan sepihak
atau tidak oleh Pemerintah”. Mulya Lubis bilang “masa, gak mungkinlah”. Pagi
ini mudah2an Mulya Lubis bangun dari siuman dan mulai menyadari mulai pahit
getirnya demokrasi di bawah Pemerintahan Presiden Jokowi ini.
Pembubaran
terhadap HTI pagi ini sudah dapat kita duga alasannya. Ormas ini dianggap
“menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila” sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 4 huruf c Perpu.
Pelanggaran terhadap pasal ini dijatuhi sanksi administratif dan/atau pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a jo Pasal 61 ayat (1) huruf c
jo ayat (3) huruf b.
Sanksi
administratif pencabutan status badan hukum disertai dengan pembubaran
berdasarkan pasal2 Perpu di atas sudah dijatuhkan oleh Menkumham kepada HTI.
Saya belum tahu apakah sanksi pidana akan dijatuhkan atau tidak. Seandainya
dijatuhkan, maka sanksi pidana bagi setiap orang yang menjadi anggota dan/atau
pengurus ormas yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila, menurut Pasal 59 ayat (4) Perpu “dipidana dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun sebagaimana diatur dalam
Pasal 82A ayat (2).
Dalam
acara ILC tadi malam Prof Dr Romli Atmasasmita mengatakan sanksi pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 82A ayat (2) di atas hanya dijatuhkan kepada pimpinan ormas
atau mereka yang menjadi aktor intelektual menganut, mengembangkan dan
menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila saja, bukan kepada semua
pimpinan dan anggota ormas yang dibubarkan.
Namun
kalau kita baca bunyi rumusan norma Pasal 82A ayat (2), kata-katanya berbunyi
“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja
dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan b, dan ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Dengan
membaca rumusan pasal 82A ayat (2) Perpu, jelaslah bahwa terhadap pengurus dan
anggota ormas “anti Pancasila” bisa dipidana, tidak terbatas hanya kepada aktor
intelektualnya saja. Ini jelas merupakan sanksi pidana yang tidak pernah ada di
zaman penjajahan Belanda, zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bayangkan kalau ada 1
juta anggota ormas, begitu dikenakan sanksi pidana, semuanya bisa dipenjara
sampai seumur hidup.
HTI
kemarin telah mendaftarkan permohonan uji materil atas Perpu No. 2 Tahun 2017
ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun karena hari ini HTI telah resmi dicabut
status badan hukumnya dan dibubarkan, maka tentu HTI bukan lagi subyek yang
menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi dan perubahannya dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
ke mahkamah itu. Kami kini sedang memikirkan langkah terbaik untuk mengatasi
masalah ini.
Kami juga
sedang menyiapkan langkah untuk menggugat pencabutan status badan hukum dan
pembubaran HTI ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kami sadar posisi kami
lemah berhadapan dengan Pemerintah yang menggunakan Perpu No 2 Tahun 2017 dalam
membubarkan HTI ini. Namun kami tidak boleh menyerah untuk menegakkan hukum dan
keadilan, betapapun perjuangan itu berat, panjang dan berliku. Kezaliman jangan
dibiarkan. Kediktatoran jangan diberi tempat di negeri tercinta ini.
Dikutip dari Arrahmah.com
0 Response to "HTI dibubarkan, pemerintah mulai bertindak diktator"
Post a Comment