Hersubeno Arief: Gatot adalah “Orang” Jokowi…
Tak ada yang kehilangan muka. Itu hanya masalah “miss
komunikasi.” Begitu juga dengan heboh seputar nonton bareng (Nobar) Film
G30S/PKI, bersamaan dengan berlalunya bulan September, isunya secara perlahan
juga akan menghilang.
Pada dua isu tersebut banyak pengamat, maupun pegiat dunia
maya hanya terfokus pada Jenderal Gatot.
Kalangan yang setuju dan mendukung Gatot, mengelu-elukan,
bahkan mendorongnya untuk berkompetisi pada Pilpres 2019 berkompetisi dengan
Jokowi. Sementara yang tidak sepakat, mengecam dan mendorong Presiden Jokowi
untuk segera memecatnya. Bahkan ada yang memberi julukan sebagai Panglima TNI
“terburuk” sepanjang era reformasi.
Banyak yang luput atau mungkin abai bahwa dalam kedua peristiwa
tersebut Gatot sesungguhnya bukan aktor utama. Dia hanyalah pembawa pesan.
Jangan lupa Gatot adalah prajurit TNI yang didik loyal kepada
pimpinan, dalam hal ini presiden sebagai panglima tertinggi TNI.
Prinsip utama seorang prajurit TNI itu secara tegas pernah
dikemukakan Gatot saat membuka Rapat Pimpinan TNI Tahun Anggaran 2016 bahwa
loyalitas TNI ‘Tegak Lurus’ pada presiden.
“TNI bisa hancur jika ikut dalam politik praktis. Ini harus
kita jaga agar TNI tidak ikut politik, kecuali politik negara dengan loyalitas
tegak lurus pada Presiden Republik Indonesia dengan panglima tertinggi,”
ujarnya di Aula Gedung Gatot Subroto Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu
(16/12).
Dengan prinsip semacam itu bisa diartikan, bahwa apapun yang
dilakukan oleh Gatot adalah bentuk sebuah loyalitas yang tegak lurus kepada
presiden. Nobar dan isu 5.000 pucuk senjata untuk instansi lain di luar
TNI-Polri harusnya bukan dilihat sebagai bentuk perlawanan Gatot terhadap
Presiden Jokowi, tapi malah sebaliknya sebagai langkah “pengamanan” untuk
Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI.
Coba
perhatikan bagaimana reaksi Jokowi dalam kedua isu tersebut. Semuanya datar dan
landai-landai saja.
Soal Nobar Jokowi hanya berkomentar pendek “perlu dibuat versi
baru yang sesuai dengan generasi milineal.” Tidak ada pelarangan, apalagi
kecaman bahwa film tersebut sebagai propaganda Orde Baru seperti yang dikatakan
oleh para politisi PDIP dan para penentang Nobar.
Pada isu 5.000 senjata Jokowi mengatakan masalahnya sudah
selesai. Gatot sudah menemuinya di Pangkalan Militer Halim Perdana Kusuma
(26/9). “Ya, tadi malam, setelah saya dari Bali, (Panglima TNI) sudah bertemu
saya di Halim. Sudah dijelaskan. Saya kira penjelasan dari Menko Polhukam sudah
jelas. Saya kira tidak usah saya ulang lagi,” ujarnya.
Baca juga artikel berikut ini
Inilah Tata Cara Serta Adab Ta’aruf Menurut Islam
Pilihan tempat bertemu dengan Gatot dan penjelasan dari Jokowi
tidak menunjukkan ada sesuatu yang genting, gawat darurat seperti yang
digambarkan oleh media, apalagi medsos.
Ekspresi Jokowi ketika menjelaskan hal itu juga tampak datar dan disertai senyum.
Ekspresi Jokowi ketika menjelaskan hal itu juga tampak datar dan disertai senyum.
Satu hal lagi yang barangkali luput dari perhatian, masalah
tersebut “cukup” hanya ditangani oleh Menko Polhukam Wiranto. Biasanya untuk
beberapa hal yang dianggap sangat genting, Luhut Panjaitan sebagai orang
kepercayaan Jokowi selalu turun tangan.
Ketika
suasana jelang Pilkada DKI memanas dan Ahok menyerang Ketua MUI KH Ma’ruf Amin
di pengadilan, Luhut turun tangan langsung. Bersama Pangdam Jaya dan Kapolda
Metro Jaya, Luhut malam-malam bergegas menemui Ma’ruf Amin di rumahnya. Padahal
Luhut menjabat sebagai Menko Maritim, tidak ada urusannya dengan masalah
politik.
Begitu juga dengan kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta, Luhut
menyatakan “pasang badan” menghadapi para penentang. Kebetulan dalam kasus
reklamasi posisinya sebagai Menko Maritim memang nyambung. Pada kasus Nobar dan
isu 5.000 senjata tidak satupun kata yang muncul dari Luhut.
Reaksi Presiden yang santai, rileks dan kalem mengindikasikan
bahwa Gatot berada dalam koridor “permainan” yang bisa dikendalikan. Dalam
konteks pergulatan kekuasaan (power game), pada kedua isu itu justru Jokowi
sesungguhnya yang menjadi “aktor utama.”
Dalam peribahasa Jawa dikenal sebuah istilah “nabok nyilih
tangan.” Menampar, memukul orang, dengan meminjam tangan orang lain.
Yang menjadi sasaran pemukulan pada isu 5.000 senjata adalah
institusi Badan Intelijen Negara (BIN) yang kini dipimpin oleh Jenderal Budi
Gunawan orang dekat Ketua Umum PDIP Megawati. Sementara pada isu Nobar
yangmenjadi “korban” adalah PDIP dan Megawati.
Kita pasti belum lupa bagaimana Jokowi “menyingkirkan” Budi
Gunawan sebagai kandidat Kapolri dengan cara yang sangat dingin. Momentumnya
saat itu yang menabok Budi Gunawan adalah KPK dengan menetapkannya sebagai
tersangka.
Budi
Gunawan kemudian memenangkan perseteruannya dengan KPK melalui gugatan pra
peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Logikanya setelah Budi Gunawan
secara hukum dinyatakan bersih, dia otomatis dilantik menjadi Kapolri. Sebab
DPR secara aklamasi juga sudah menyetujui penunjukkan Budi.
Ternyata Jokowi menolak untuk melanjutkan penunjukkan Budi
Gunawan sebagai Kapolri. Dia malah memilih Tito Karnavian sebagai Kapolri
melompati beberapa angkatan di atasnya.
Setelah melalui berbagai kompromi politik, Budi Gunawan mantan
ajudan saat Megawati presiden, kemudian mendapat pos baru sebagai Kepala BIN.
Posisi BIN kendati setara dengan jabatan setingkat menteri,
tentu tidak se-prestisius dan se-setragis Kapolri. Pilihan pada Tito (Akpol
1987) yang melompati Budi Gunawan (Akpol 1983) tentu juga dimaksudkan untuk
mengikis pengaruh Budi Gunawan yang begitu kuat pada Akpol 1983,1984, 1985 dan
1986. Jokowi ingin menjadi pengendali utama permainan.Bukan Megawati, apalagi
PDIP.
Terpilihnya Gatot sebagai Panglima TNI, kendati tidak
“sedramatis” Tito, juga menunjukkan bahwa Gatot adalah “orang” Jokowi. Secara
konvensi sejak era reformasi, Panglima TNI dijabat secara bergiliran antar
ketiga angkatan AD, AL dan AU. Saat itu secara konvensi harusnya yang menjadi
Panglima TNI berasal dari matra TNI AU. Sebab panglima sebelumnya dijabat oleh
Jenderal Moeldoko yang juga berasal dari matra TNI AD.
Namun melawan tradisi, Jokowi kemudian malah memilih Gatot
yang kebetulan walaupun lahir di Tegal, namun punya trah dan besar di Solo,
sama dengan asal Jokowi.
Sebagai orang Solo dengan tradisi Mataraman, Jokowi terbiasa
dengan politik dan bahasa simbol. Dalam bahasa Jawa disebut sebagai sanepo,
personifikasi, bahasa kiasan yang penuh makna. Tindakan dan ucapan Jokowi tidak
bisa diartikan secara linier.
Menariknya sebagai rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun TNI
ke-72 , TNI akan menggelar pertunjukan wayang NKRI berupa wayang dari 11
daerah. Salah satu lakon atau cerita wayang yang digelar adalah “Parikesit
Jumeneng Ratu,” atau Parikesit menjadi raja.
Untuk memahami konteks politik pilihan judul wayang yang
dipilih oleh Panglima TNI setidaknya Anda juga perlu memahami kosmologi Jawa
yang penuh simbol dan personifikasi. Parikesit Jumeneng Ratu adalah bagian
penutup dari seri wayang purwa (lama) pasca perang habis-habisan Barata Yudha
antara Astina yang mewakili simbol keburukan, melawan Pandawa sebagai
representasi kebaikan.
Sebagai trah Pandawa, Parikesit sejak kecil sudah ditakdirkan
menjadi Raja Hastinapura. Oleh para kompetitornya sejak bayi dia sudah
dicari-cari untuk dibunuh. Berbagai intrik politik dilakukan untuk
menggagalkannya menjadi raja. Tapi karena sudah ketentuan takdir ilahi, dia
tetap menjadi raja. Itu semua berkat ayahnya mendapat wahyu Jaya Ningrat (Cakra
Ningrat). Berbagai intrik dan konspirasi politik tidak berhasil menggagalkannya
menuju tampuk kekuasaan, jumeneng Nata.
Jokowi saat ini tengah melakukan konsolidasi kekuasaan,
berbagai hiruk pikuk yang terjadi harus dilihat sebagai bagian dari pergulatan
kekuasaan jelang Pilpres 2019. Sebagai Presiden tentu Jokowi tidak cukup hanya
puas menjadi “petugas partai.” Sebab realitas hari ini sesungguhnya Jokowi
sudah lebih besar dari partai itu sendiri.
Apakah lakon “Parikesit Jumeneng Nata” ini merupakan pesan
tersirat yang dibungkus dengan pagelaran pewayangan untuk Jokowi, atau untuk
Gatot sendiri? Waktu yang akan membuktikan. [jk/swa]
Penulis: Hersubeno Arief,
Konsultan
media dan politik.
Dikutip dari eramuslim.com
0 Response to "Hersubeno Arief: Gatot adalah “Orang” Jokowi…"
Post a Comment